PEREMPATAN WAKTU

PEREMPATAN WAKTU

Karya : Nurhayati, XII IPA 5/24

SMA N 11 YOGYAKARTA

 

Sepi, sunyi, senyap ruangan ini. Aku terdiam dalam kesendirian. Tanah dan angin pun enggan menyapaku. Rintikan hujan melembabkan atap ruangan ini. Perlahan-lahan, baju putih yang menggulung ditubuhku pun basah oleh hujan. Lama-lama aku tertidur di ruangan sempit dibawah kayu bertuliskan namaku sembari teringat perjalananku sampai didalam pusara saat ini.

Pagi itu, aku memasuki kelas dengan wajah semringah. Burung didepan kelasku bersiul menyapaku. Ku lihat dia, sosok yang ku idamkan tengah membaca novel ditempat duduknya. Wajahnya yang serius namun penuh kedamaian membuatku ingin memilikinya. Betapa bahagianya diriku jika ia kelak menjadi pendamping hidupku.

Kini, aku berjalan entah kemana, langkahku terus maju tanpa henti. Hingga aku menemukan persimpangan, oh bukan, lebih tepatnya perempatan. Aku berhenti ditengah-tengah perempatan itu. Tak ku kenal apapun di kanan, kiri, depan, bahkan dibelakang bekas langkahku tadi. Seketika aku menyadari, bahwa di sekitarku terlihat dinding-dinding pembatas antar jalan. Di dinding itu kulihat begitu banyak tombol. Lalu ku dekati salah satu simpangan. Ku perhatikan tombol-tombolnya kemudian ku raba-raba tombol paling menonjol bertulisan ‘view’.  Seketika aku melihat gambaran, atau lebih tepatnya sebuah video. Disana terlihat wajahku tersenyum bahagia bersama Rani kekasihku, tetapi sayangnya aku dan Rani duduk di bawah rumah kerdus. Aku tak mempunyai pekerjaan, aku hidup gelandangan bersama Rani. Lalu aku berpaling ke perempatan lain, dan kembali menekan tombol ‘view’ karena aku sudah paham maksut dari tombol tersebut yaitu memperlihatkan gambaran dari perempatan yang akan ku lewati. Disana terlihat jelas bahwa hidupku yang gelandangan seperti di perempatam pertama tadi. Bedanya, disana aku luntang-lantung sendirian. Muka yang kusut, perut yang kecil dan badan yang hanya tulang terlihat sangat memprihatinkan.

Tanpa berpikir lagi, aku melanjutkan ke permpatan berikutnya. Sebelum ku pencet tombol ‘view’, aku berdoa dalam hati, semoga masa depanku cerah, berguna bagi keluarga, masyarakat dan bangsa, aamiin. Ku lihat diriku berbadan tegap dan berwajah gagah sedang membawa pistol lengkap dengan seragam dinasnya. Berjalan sendirian, tanpa Rani disampingku menjadi nilai ‘men’ untuk gambaran di perempatan ini. Ku lanjutkan ke permpatan berikutnya, dengan harap tak ada nilai ‘men’ disana. Untuk yang terakhir dari empat jalan, ku pencet tombol ‘view’ lalu kuperhatikan video tersebut. Ada Rani disampingku, lengkap dengan diriku yang berderagam dinas dengan badan tegap dan berwajah gagah. Tampak senyum mengembang diantara kami. Terlihat jelas bahagia menyelimuti perjalanan ini. Tanpa berpikir lagi ku pencet tombol ‘open’ lalu pintu besar didinding tersebut terbuka. Aku berjalan dengan langkah gontai menjejaki setiap tapak perjalanan ini. Dipojok jalan, Rani tersenyum kepadaku, ku lirik badanku yang berseragam dinas. Sama persis dengan gambaran sebelum aku masuk ke jalan ini. Tiba-tiba tepukan tangan membuyarkan alam sadarku. Teman-teman dan Ibu Guru tersenyum melihatku, bahkan ada beberapa temanku yang menertawakanku, termasuk Rani. Apa maksut dari semua ini? Apakah ini pertanda? Batinku.

Berhari-hari aku terus kepikiran tentang perempatan itu, tentang perjalanan itu, dan tentan pertanda itu. Hingga akhirnya ku putuskan untuk mengungkapkan perasaanku ke Rani. Suatu pagi, ku temui Rani yang sedang menyalin pr dikelas.

“hei Ran, ntar malam jalan yuk..” tanyaku\

“gak ah, besok pagi kana da ulangan, mending belajar aja dirumahku, gimana?” tawar Rani dengan senyum manisnya

“okee, jam 7 aku kerumahmu.” jawabku

“siap.” Katanya

Gelap malam dengan senyuman rembulan sabit, suara kelelawar, dan hembusan angina malam mengantarku ke rumah Rani. Dari kejauhan ku lihat orangtuanya keluar dari gerbang rumah menggunakan mobil.

“dokdokdok…” ku ketuk pintu rumahnya

“silahkan masuk.” kata Rani sembari membukakan pintu untukku

“iya.” kataku, lalu berjalan mengikuti Rani

Seperti apa yang dikatakan para penulis, cinta membutakan segalanya. Aku terkagum pada sosoknya. Aku terenyuh oleh setiap kalimat yang keluar dari bibir indahnya.

“Dhan, kamu kenapa?” tanya Rani menggoyangkan pundakku.

“gakpapa, aku lagi bingung aja.” jawabku seadanya

“bingung kenapa? Materinya?” tanyanya memperhatikanku

“enggak, aku bingung kenapa aku bias mencintaimu.” jawabku keceplosan.

Wajah Rani nampak kaget, lalu perlahan-lahan tersenyum dan mendekatiku. Mata indahnya seolah-olah menyalurkan energi panas ke tubuhku, hatiku menjadi hangat olehnya.

“kamu boleh mencintaiku, tapi hubungan kita hanya seorang yang berteman, bersahabat, tidak lebih dari itu. Kamu bias saja mencintai dan mendapatkan sosok yang lebih baik dari aku. Kamu bisa mendapatkan yang terbaik dengan melakukan bukti cintamu yang tulus untuk seorang wanita, tetapi bukan aku. Ingatlah selalu, bahwa cinta bukan untuk mendapatkan apa yang kita inginkan, tetapi jika kita melakukan yang terbaik untuk hidup kita, niscaya cinta akan datang menghampirimu.” ucap Rani seperti sosok Ibu yang menceramahi anaknya yang sedang beranjak dewasa.

“aku mengerti, dan aku berjanji akan melakukan yang terbaik untuk hidupku.” kataku lalu tersenyum.

Sejujurnya, hatiku hancur oleh tolakan halus dari Rani. Jika perempatan yang aku pilih tidak terwujud di kehidupan ku, berarti aku masih mempunyai 3 pilihan lain untuk kehidupan lanjutku. Jelas saja, meski aku tidak bisa bersatu dengan Rani setidaknya aku harus sukses menjadi kebanggaan keluarga, masyarakat, dan bangsa.

Ucapan-ucapan selamat terdengar disetiap sudut. Bunga bertangkai dibawa oleh setiap jiwa. Topi bundar berkanopi persegi hingan disetiap kepala. Senyum dan tawa riang bertebaran diruangan ini. Dimulai dari detik ini, aku berjanji akan mengabdi kepada Negara. Meski aku tidak bisa menjadi pelindung Rani secara langsung, setidaknya aku bisa melindungi Negara ini, karena secara tidak langsung, aku pun turut melindungimu. Hari demi hari ku lewati dengan pelatihan perwira. Sibuk dengan berlatih diri membuatku sedikit lupa dengan Rani, padahal disetiap malam aku selalu teringat kepadanya. Pelatihan pun berakhir, dan aku langsung mendapat tugas untuk memata-matai sekelompok teroris di Negeri ini. Kasus ini sudah berlangsung lama. Sekelompok teroris ini dipimpin oleh seorang yang bernama Raka. Dia adalah seorang anak dari mantan perwira bangsa yang dibuang paksa oleh Negara. Raka berniat membalas dendam dengan menculik pemuda cerdas penerus bangsa. Jika tidak segera diberantas, Negara ini akan kehilangan generasi cerdas penerus bangsa.

Suatu sore, aku sedang memata-matai Raka dan sekelompoknya disebuah markas mereka. Ku dengar setiap rencana dari percakapan tersebut. Tiba-tiba aku menjatuhkan alat pengintai yang baru saja ku ambil dari dalam tas. Mereka segera menoleh dan berlari ke arahku, seketika semuanya menjadi gelap.

Ketika ku buka mataku, aku sudah berada di markas besar perwira bangsa. Kulihat Yudha, teman SMA sekaligus pemimpin kelompok kami, duduk disampingku bersama teman-teman yang lain.

“Raka sudah ditangkap belum Dha?” tanyaku kepada Yudha.

“belum Dhan, dia melarikan diri bersama kelompoknya setelah kami menyelamatkanmu.” jawab Yudha

Tiba-tiba, Raka mengirim pesan bahwasanya waktu kita tinggal 60 menit untuk menyelamatkan para pemuda itu. Padahal waktu yang ditempuh sampai ke tempat penyekapan memerlukan waktu 50 menit, otomatis kita hanya mempunyai waktu 10 menit. Segera, aku dan teman-teman yang lain meluncur menuju tkp. Sesampai disana, Yudha langsung menyiapkan tali dan berhasil menyelamatkan 13 dari 15  pemuda. Lalu ku susul Yudha untuk menyelamatkan 2 pemuda yang salah satunya adalah putra dari Rani, yah selama ini aku tidak hanya menjadi mata-mata Negara tetapi juga mata-mata Rani. Ketika hampir berhasil menyelamatkan putra Rani, tiba-tiba tembakan dari arah dalam markas memotong tali penghubung ke helicopter, untungnya Yudha dapat menyelatkan putra Rani. Waktuku tinggal 2 menit. Segera ku lempar granat ke dalam markas Raka, hingga tiba-tiba suara bom melemparkan tubuhku. Aku pun tersenyum lega, aku dapat melakukan yang terbaik dalam hidupku.

“terimakasih Dhan, berkatmu, anakku selamat. Kamu sudah mendatangkan cinta di hidupmu.” Kata Rani sembari mengelus pusaraku dan meninggalkan bunga diatasnya.

 

Tinggalkan komentar